Untuk memberikan penjelasan tentang bagaimana cara-cara berthaharah (bersuci) dan shalat, di sini kami kutipkan risalah yang ditulis ulama terkemuka, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin hafidhahullah. Beliau berkata: “Sesungguhnya bagi orang sakit itu ada hukumnya secara khusus dalam hal bersuci dan shalat. Karena dia dalam keadaan yang (walaupun sakit) tetap dituntut oleh syari’at Islam untuk menjaganya (menjalankan syari’at itu). Sesungguhnya Alloh Ta’ala mengutus NabiNya, Muhammad shallAllohu alaihi wasalam, dengan al-haniifiyyah as-samhaa’ (kemudahan yang longgar), yang dibangun atas (asas) kelonggaran dan kemudahan. Alloh Ta’ala berfirman, yang artinya: “dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan…” (QS: Al-Hajj: 78).
“Alloh menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (QS: Al-Baqarah: 185). “Maka bertaqwalah kamu kepada Alloh menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta ta’atilah.” (QS: At-Taghaabun: 16).Dan Nabi shallAllohu alaihi wasalam bersabda, yang artinya: “Sesungguhnya agama itu mudah.” (HR: Al-Bukhari). Dan beliau shallAllohu alaihi wasalam bersabda, yang artinya: “Apabila aku perintahkan kalian dengan suatu perintah maka laksanakanlah dari-padanya semampu kalian.” (Muttafaq ‘alaih, dan Ahmad).
Berlandaskan kaidah-kaidah yang mendasar inilah maka Alloh Ta’ala telah meringankan ibadah orang-orang yang terkena udzur (halangan) sesuai dengan udzur mereka, agar mereka bisa beribadah kepada Alloh Ta’ala tanpa kesempitan dan kesulitan. Segala puji bagi Alloh.
Cara Thaharah/bersuci bagi orang sakit:
- Wajib atas orang yang sakit bersuci dengan air, yaitu berwudhu’ karena hadats kecil, dan mandi karena hadats besar.
- Kalau dia tidak bisa bersuci dengan air karena lemahnya, atau takut akan tambah sakit, atau akan memperlambat sembuhnya, maka hendaknya ia bertayammum ( baik untuk hadats kecil maupun hadats besar).
- Cara bertayammum, yaitu dengan menepuk bumi/debu yang suci dengan kedua tangannya satu kali tepukan, lalu mengusap wajahnya dengan kedua tanganya, kemudian mengusap dua tapak tangannya secara silang (yang kanan menghadap yang kiri dan sebaliknya), yang satu terhadap yang lain. Apabila ia tidak mampu bertayammum sendirian maka ditayammumi oleh orang lain, maka orang itu menepuk bumi/ debu yang suci dengan kedua tangannya, dan mengusapkan dengan tangannya ke wajah si sakit dan kedua tapak tangan si sakit, sebagaimana kalau si sakit tidak mampu untuk berwudhu sendiri maka hendaklah diwudu’i oleh orang lain.
- Dan dibolehkan bertayammum dari dinding atau sesuatu yang lain yang suci lagi berdebu. Maka apabila dinding itu dicat dengan sesuatu yang bukan jenis tanah seperti cat maka jangan bertayammum darinya kecuali kalau ada debunya.
- Apabila tidak ada dinding dan tidak ada sesuatu lainnya yang berdebu maka tidak apa-apa kalau meletakkan debu di sapu tangan atau wadah, dan bertayammum darinya.
- Apabila ia bertayammum untuk shalat dan ia masih suci (belum batal) sampai waktu shalat berikutnya, maka hendaknya ia shalat dengan tayammum pertama itu tadi dan tidak usah mengulangi tayammum, karena ia masih dalam keadaan suci (belum batal), dan belum ada hal yang membatalkannya.
- Wajib atas si sakit membersihkan badannya dari najis-najis. Apabila ia tidak mampu, hendaklah ia shalat dalam keadaannya itu saja, dan shalatnya sah tanpa harus mengulanginya.
- Wajib atas orang sakit untuk menyucikan pakaiannya dari najis-najis atau mencopotnya, dan memakai pakaian yang suci. Apabila tidak mampu, hendaklah ia shalat dalam keadaannya itu saja, shalatnya sah, dan tidak ada pengulangan atasnya.
- Wajib atas orang sakit shalat di tempat yang suci. Kalau dia di atas tikar/ alas yang najis maka hendaklah dicuci atau diganti dengan tikar/ alas yang suci atau dilapisi di atasnya dengan sesuatu yang suci. Kalau tidak mampu maka hendaklah ia shalat di atas alas yang ia tempati itu, shalatnya sah, dan tidak ada pengulangan atasnya.
Cara shalat orang sakit:
- Wajib atas orang sakit shalat fardhu dengan berdiri walaupun condong atau bersandar ke dinding atau tiang atau tongkat.
- Apabila ia tidak mampu shalat dengan berdiri maka dengan duduk, dan yang afdhal (lebih utama) hendaknya ia bersila pada posisi (yang seharusnya) berdiri dan ruku’; dan duduk iftirasy ( seperti ketika duduk tahiyyat awal) pada giliran sujud.
- Apabila ia tidak mampu shalat dengan duduk maka shalat dengan berbaring di atas lambungnya (tidur miring) dengan menghadap ke Qiblat, dan lambung kanan lebih utama daripada lambung kiri. Apabila ia tidak bisa menghadap ke Qiblat maka shalat ke arah mana yang ia sedang hadapi, dan tidak ada pengulangan atasnya.
- Kalau ia tidak mampu shalat dengan tidur miring maka shalat dengan telentang: dua kakinya ke arah Qiblat. Dan yang afdhal (lebih utama) hendaknya ia mengangkat kepalanya sedikit untuk menghadap ke Qiblat. Apabila ia tidak mampu untuk mengarahkan kakinya ke Qiblat maka ia shalat ke arah mana (saja) sesuai dengan keadaannya tanpa harus mengulanginya.
- Wajib bagi si sakit agar ruku’ dan sujud. Maka apabila ia tidak mampu, hendaklah ia berisyarat ruku’ -sujud dengan kepalanya, dan menjadikan isyarat untuk sujud lebih rendah daripada ruku’. Apabila ia mampu ruku’ tapi tidak mampu sujud, maka ia ruku’ dengan keadaan ruku’ dan sujud dengan berisyarat . Dan apabila ia mampu sujud tetapi tidak mampu ruku’, maka ia sujud dengan keadaan sujud, dan ruku’ dengan isyarat.
- Apabila ia tidak bisa berisyarat dengan kepalanya dalam ruku’ dan sujud, maka ia berisyarat dengan matanya, memejam sedikit untuk ruku’, dan memejam lebih banyak untuk sujud. Adapun isyarat dengan jari-jari seperti yang dilakukan oleh sebagian orang-orang sakit itu maka tidak benar/ tidak shahih, dan kami tidak mengetahui adanya (sumber) asalnya itu dari Al-Quran maupun As-Sunnah, dan tidak juga dari pendapat-pendapat ahli ilmu (ulama).
- Apabila ia tidak mampu berisyarat dengan kepala dan tidak pula dengan mata, maka ia shalat dengan hatinya lalu berniat ruku’ dan sujud, berdiri, dan duduk dengan hatinya. Dan bagi setiap orang (tergantung) apa yang ia niatkan.
- Wajib atas orang sakit agar shalat pada setiap waktunya sesuai dengan kemampuannya seperti tersebut di atas perinciannya, dan tidak boleh mengakhirkan dari waktunya.
- Apabila ia kesulitan mengerjakan setiap shalat pada waktunya maka ia berhak menjama’ antara dhuhur dan ashar, dan antara maghrib dan isya’ dengan jama’ taqdim (Dhuhur dan ashar dilakukan pada waktu dhuhur, maghrib dan isya’ dilakukan pada waktu maghrib) atau ta’khir (sebaliknya dari taqdim, pada waktu ashar untuk dhuhur dan ashar, dan pada waktu isya’ untuk maghrib dan isya’) sesuai dengan mana yang mudah baginya; kalau ia mau maka mendahu-lukan ‘ashar beserta dhuhur, dan kalau mau ia mengakhirkan dhuhur bersama ashar, dan kalau mau ia mendahulukan isya’ bersama maghrib, dan kalau mau mengakhirkan maghrib bersama isya’. Adapun shalat fajar (shubuh) maka tidak dijama’ dengan shalat sebelumnya dan tidak pula dengan shalat sesudahnya, karena waktunya terpisah dari shalat yang sebelumnya dan dari yang sesudahnya…
- Alloh Ta’ala berfirman, yang artinya: “Dirikanlah shalat dari sesudah mata-hari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikan pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat).” (QS: Al-Isra’: 78).
sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar