Para Fuqaha rahimahumullah mereka mendefinisikan syarat dalam jual beli yaitu salah satu dari yang berjual beli mewajibkan kepada yang lainnya dengan sebab akad yang mengandung manfaat. Menurut mereka syarat dalam jual beli tidaklah teranggap untuk dilakukan kecuali jika disyaratkan pada saat akad. Maka tidak sah syarat sebelum atau setelah akad.
Syarat Jual BeliSyarat dalam jual beli terbagai ke dalam dua :
1. Syarat yang sah
2. Syarat yang rusak (tidak sah)
Pertama: Syarat yang sah adalah syarat yang tidak bertentangan dengan konsekuensi akad
Syarat semacam ini harus dilaksanakan karena sabda Rasululloh shallahllahu ‘alaihi wasallam, yang artinya: ”Orang-orang muslim itu berada di atas syarat-syaratmereka.” (Hadits Hasan Sahih dalam Sahih Abu Dawud No. 2062)
Dan karena pada asalnya syarat-syarat itu sah kecuali jika dibatalkan dan dilarang oleh Syariat Islam.
Syarat jual-beli yang sahih mempunyai dua macam:
1. Syarat untuk kemaslahatan akad.
Yaitu syarat yang akan menguatkan akad dan akan memberikan maslahat bagi orang yang memberikan syarat, seperti disyaratkannya adanya dokumen dalam pegadaian atau disyaratkannya jaminan, hal seperti ini akan menenangkan penjual. Dan juga seperti disyaratkannya menunda harga atau sebagian harga sampai waktu tertentu, maka ini akan berfaedah bagi si pembeli. Apabila masing-masing pihak menjalankan syarat ini maka jual beli itu harus dilakukan, demikian pula kalau seorang pembeli mensyaratkan barang dengan suatu sifat tertentu seperti keadaanya harus dari jenis yang baik, atau dari produk si A, karena selera berbeda-beda mengikuti keadaan dari barang tersebut.
Apabila syarat barang yang dijual telah terpenuhi maka wajiblah menjualnya. Akan tetapi jika syarat tersebut tidak sesuai dengan yang dikehendaki, maka bagi pembeli berhak untuk membatalkan atau mengambilnya dengan meminta ganti rugi dari syarat yang hilang (yaitu dengan menuntut harga yang lebih murah, pent), dan juga pembeli bersedia membayar adanya perbedaan dua harga jika si penjual memintanya (dengan harga yang lebih tinggi jika barangnya melebihihi syarat yang diminta, pent)
2. Syarat yang sah dalam jual beli.
Yaitu seorang yang berakad mensyaratkan terhadap yang lainnya untuk saling memberikan manfaat yang mubah dalam jual beli, seperti penjual mensyaratkan menempati tempat penjualan selama waktu tertentu, atau dibawa oleh kendaraan atau hewan jualannya sampai ke suatu tempat tertentu. Sebagaimana riwayat Jabir radhiyallahu anhu bahwa, yang artinya: “Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam menjual seekor unta dan mesyaratkan menungganginya sampai ke Madinah” (Mutafaq ‘alaihi).
Hadits ini menunjukan bolehnya menjual hewan tunggangan dengan pengecualian (syarat) mengendarainya sampai ke suatu tempat tertentu, maka diqiyaskanlah perkara yang lainnya kepadanya. Demikian pula kalau seandainya pembeli mensyaratkan kepada penjual agar penjual melakukan pekerjaan tertentu atas penjualannya seperti membeli kayu bakar dan mensyaratkan kepada penjualnya untuk membawanya ke tempat tertenu, atau membeli darinya pakaian dengan syarat dia menjahitkannya.
Kedua: Syarat yang rusak (tidak sah)
Jenis ini juga terdiri dari beberapa macam :
1. Syarat yang rusak dan membatalkan pokok akad itu sendri
Misalnya salah seorang dari keduanya (penjual dan pembeli) mensyaratkan dengan syarat yang lain terhadap yang lainnya, seperti mengatakan Aku jual barang ini dengan syarat engkau memberiku ganjaran berupa rumahmu atau mengatakan Aku jual barang ini kepadamu dengan syarat engkau mengikutsertakan aku dalam pekerjaamu atau di rumahmu. Atau juga mengatkaan Aku jual barang ini seharga ini, dengan syarat engkau meminjamiku sejumlah uang, maka syarat ini rusak (tidak sah), dan membatalkan pokok akad itu sendiri, karena larangan Nabi Shalallahu ‘alaihi Wasallam terhadap dua jualan diatas penjualan (disahihkan oleh Al Albany dalam Misykatul Mashabih, N0. 2798), sedang Imam Ahmad rahimahullah menafsirkan hadits tersebut dengan apa yang kami sebutkan.
2. Syarat yang rusak dalam jual beli
Yaitu yang membatalkan akad itu sendiri akan tetapi tidak membatalkan jual beli. seperti pembeli mensyaratkan terhadap penjual jika dia rugi terhadap barang dagangannya, dia akan mengembalikannya kepadanya. Atau penjual mensyaratkan kepada pembeli untuk tidak menjual barang dan yang sejenisnya. Maka syarat ini rusak karena menyelisihi konsekuensi akad yaitu pembeli mempunyai hak mutlak terhadap penggunaan barang. Disamping itu karena sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam, yang artinya: “barangsiapa mensyaratkan suatu syarat yang tidak terdapat dalam Kitab Allah maka syarat itu bathil, meskipun ada seratus syarat” (Mutafaq ‘alaihi). Adapun yang dimaksud dengan Kitab Alloh di sini adalah hukumnya, maka termasuk padanya adalah Sunnah Rasululloh shalallahu ‘alaihi wasallam.
Jual beli tidaklah menjadi batal dengan batalnya syarat ini, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam kisah Barirah (Maula Aisyah Radhiyallahu ‘anha) ketika penjualnya mensyaratkan loyalitas dari Barirah harus kepadanya (penjual) jika dia dibebaskan, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam membatalkan syarat ini, akan tetapi tidak membatalkan dari akad (jual belinya), dan beliau bersabda, yang artinya: “Sesungguhnya perwalian (loyalitas) itu bagi yang membebaskannya” (Shahih Al Jami’ : 2226)
Maka semestinya bagi seorang muslim yang sibuk dengan urusan jual beli untuk mempelajari hukum-hukum jual beli menyangkut sah tidaknya syarat-syarat jual beli, sehingga dia berada di atas bashirah (ilmu) dalam mu’amalahnya, sehingga akan terputuslah jalan pertentangan dan perselisihan diantara muslimin. Karena kebanyakan pertentangan dan perselisihan tumbuh dari kebodohan penjual dan pembeli atau salah satu dari keduanya terhadap hukum jual beli, serta mereka membuat syarat-syarat yang rusak (tidak sah)
sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar