Sabtu, 20 Oktober 2012

Jodoh Gus Dien (Part I) cerbung santri lucu


"Brakkk..!!" Kyai Birin membanting gitar putra kesayangannya sendiri dengan penuh amarah.
"Plak..!! Plak..!! Plak..!! Mau jadi apa kamu hah??" amuk Kyai Birin pada putranya yang biasa dipanggil Gus Dien itu. Seberendel tamparan mendarat disertai gelegar amarah membahana di seluruh dinding rumah.
"Ya Allah.. Istighfar Dien... Istighfaaar... Ayah sudah nggak tahan lihat kamu kayak begini terus.." sambungnya dengan nada yang masih penuh emosi, namun terdengar melemah karena saking gemesnya.

Kyai Birin memang tipikal seorang Kyai yang tegas dalam mendidik anaknya. Hingga wajar bila Gus Dien didamprat habis-habisan akibat kenakalannya.

Gus Dien sendiri hanya bisa tertunduk menghadapi amarah ayahandanya.
Putra Kyai kharismatik yang sangat disegani di daerahnya ini, memang tergolong liar pergaulannya. Sehingga gaya hidupnya pun sama sekali tidak sinkron dengan statusnya sebagai 'pangeran pesantren'..


Gus Dien sebenarnya dibekali otak yang cerdas. Di umurnya yang baru 16 tahun saja, dia sudah hafal Al Quran 30 juz. Di samping itu, Gus Dien juga punya suara yang merdu. Tiap kali Gus Dien membacakan Al Quran, seakan-akan angin sepoi pun ikut berhenti untuk mendengar lantunan ayat suci Al Quran yang dibawakan Gus Dien dengan sepenuh hati itu. Bahkan terkadang, ibunya ikut menyimak dan tertangis bangga pada putra semata wayangnya ini.

Namun kenyataan memang harus diterima.
Semenjak Kyai Birin menjodohkan Gus Dien dengan Ning Yulia, putri teman beliau yang juga Kyai, Gus Dien pun berontak dan kabur dari rumah.

Ning Yulia memang cantik, putih, anggun, cerdas dan baik hati. Namun di mata Gus Dien, dia adalah monster menakutkan yang pernah membuatnya sakit hati.

Pendek cerita, Gus Dien memang pernah naksir Ning Yulia waktu si cantik itu mesantren di tempat ayahnya, tapi Ning Yulia menolaknya dengan alasan takut ketahuan Kyai Birin. Itu dilakukannya mengingat dia juga tidak ingin mengganggu Gus Dien yang sedang konsentrasi belajar ilmu agama pada ayahnya. Walaupun sebenarnya dalam hati Ning Yulia juga menyimpan perasaan yang indah pada Gus Dien.

Alhasil, semenjak itu, hati Gus Dien pun tertanami perasaan dendam pada penolakan Ning Yulia yang dianggapnya penghinaan itu. Sampai-sampai dia menyumpahi tidak akan pernah menikahi perempuan itu.
Hingga ketika ibunya memberitahukan bahwa dia akan dinikahkan dengan Ning Yulia, sontak Gus Dien pun kehilangan kontrol dan kabur dari rumahnya tanpa jejak sedikitpun.

Kala itu, seluruh keluarga dan teman-teman Gus Dien baik teman di Pesantren maupun teman lamanya yang dari luar kalangan santri dipanggil oleh Kyai Birin untuk berkumpul di kediamannya. Tak lain lagi, yang dibahas adalah mengenai ke mana perginya Gus Dien. Namun tak satupun di antara mereka yang tidak menggeleng kepala atau saling tanya.

Di sisi lain, Gus Dien yang tidak tau arah ke mana ia akan singgah, masih berjalan meretas perkampungan yang sama sekali belum pernah ia kenal.
Sebuah tas melilit di punggungnya, hanya berisi pakaian dan sebotol air putih.
Kelelahan memaksa Gus Dien untuk melangkahkan kaki mencari tempat istirahat. Tujuannya tak lain lagi, masjid/ mushola terdekat.
Gus Dien melangkah melewati rumah-rumah dan akhirnya ia sampai di tempat yang sedang dicarinya itu. Ya, sebuah mushola kecil dengan bangunan tua yang cukup sederhana. Terlihat tembok-temboknya yang sudah retak dan penuh debu.
"Dari mana de'?" seorang lelaki tua bertubuh ceking dengan punggung yang bungkuk menyapa lamunan Gus Dien saat ia sedang berselonjor teras mushola itu. Mbah Kuri, begitulah pria tua itu biasa disapa.
Gus Dien pun bersilah dan menyalami lelaki yang membawa sajadah kumuh itu. "Saya Idin, seorang musafir dan rumah saya lumayan jauh dari sini" jawab Gus Dien tanpa menyebut asal rumahnya.
Tampaknya Mbah Kuri pun tidak terlalu mempersoalkan masalah itu. Buktinya dia menutup pertanyaannya dengan bercerita panjang lebar tentang mushola reot tanpa toilet ini.
"Dulu waktu masih ada Pak Agung, mushola ini terurus karena ada pengurusnya.. Semenjak Pak Agung dan keluarganya pindah ke Tanjungsari, kampung sebelah, hanya saya yang peduli menyapu, menabuh kentongan dan adzan di mushola ini" kisah Mbah Kuri pada Gus Dien.
Mbah Kuri lalu menceritakan semua tentang masyarakat kampung Rejotresno ini panjang lebar. Tak luput pula ia menceritakan tentang Siluman Cicak Hitam yang setiap malam berkeliaran di kampung Rejotresno ini.
"Cicak itu bukan hewan ataupun jin. Tapi dia adalah..." cerita Mbah Kuri terpotong karena tiba-tiba pandangan matanya tertuju pada sebuah cicak di tembok mushola. Tak lama kemudian.., "Glubrakkk!!!"


...bersambung ke part II)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar